Senin, 22 Juli 2013

Manis sekali
Di lubang batu ini
Manis sekali
Nampak wajah yang terpancar di wajah manismu
Sungguh manis kulihat
Kuulamkan senyum untuk manisnya dirimu.
Di lembaran tirai ini
Manis sekali
Makin rasanya kututup mulut ini di belakang tirai ini
Agar hanya mata yang menikmati manisnya dirimu
Karena mata ini haus serpihan simpul manismu.
                Manis sekali
                Walau musim dingin menusuk padatan hidung hingga meleleh
                Wangi parfum manismu tetap tercium
                Karena hidung ini takkan mati menciumi harum manismu
Permadani cantik tak senyaman manismu
Hingga kuberalih ke karpet suci
Berwarna coklat nan manis…
Lalu aku terbang bersama manismu
Mengarungi udara manis yang kau sulap
Dan lautan manis yang kau suruh untuk duduk manis
Terima kasih manis
Manis, aku ingin kau berpatri manis meski aku sudah tak manis lagi
Walau waktu dengan kejam melantikmu menjadi tak manis lagi
Bagiku, kaulah yang termanis. Selamanya, wahai Manis…
Nama : Shovi Maryam
TTL    : Malang, 18 Januari 1997
Sekolah: MAN 3 Malang kelas XII
Hobi    : Menanyi, membaca, menulis. Suka menulis sejak SMA



Senin, 17 Juni 2013

Surabaya, 17 06 13
Tentang perasaan seorang wanita  yang idaman lelaki.
Bolehlah aku sedikit percaya diri mengenai wanita yang dikejar-kejar laki-laki. Semua wanita cantik, tak ada yang tampan. Sehingga wajarlah bila lelaki terpikat olehnya.
Kalau seperti ini, sungguh tidak pantas jika aku mengatakan bahwa aku adalah tercantik, lantas temanku jelek. Kenapa? Karena cantik itu relative tergantung maunya orang seperti apa.
Inthilaqan dari topic di atas….
Nah, pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang lelaki.
Ia terlihat alim, tak peduli wanita, hitam manis, tapi berwibawa. Pintar berbahasa asing, dan dialah partnerku untuk kompetisi tingkat Nasional.
 Aku bangga memliki partner seperti dia. Setelah kulalui perkenalanku dengannya setelah berbulan-bulan walau jumlah pertemuan bisa dihitung dengan jari ternyata dia sangat enak sekali diajak ngobrol. Baiiik banget. aku sadari dengan segala kekuranganku dikompetisi ini yang cukup palsu untuk backgaroundku sebenarnya, sesungguhnya aku tak terlalu memiliki kecakapan berbahasa asing, namun jika disuruh berpidato aku bisa menggemparkan audiens, asal harus disiapkan jauh-jauh sebelum hari.
Karena ini bahasa asing yang belum terlalu kukuasai, suatu hari aku menemukan kejanggalan yang harus diubah. Satu minggu lagi kompetisi dilaksanakan, tapii…
Satu dari hanya dua tema yang aku hafal tidak cocok dengan ketentuan, What..? cukup shock jika melihat kemampuanku yang butuh berminggu-minggu untuk berpidato secara lancar. Apalagi juklak mengatakan bahwa akan diadakan pengundian judul dari kelima judul yang telah ditentukan panitia. Menurut pendengaran biasa itu malah jauh lebih menyulitkan. Tapi, berhubung aku pernah merasakan kejadian seperti tiga tahun yang lalu, tak perlulah aku harus ngoyo seperti tiga tahun yang lalu, karena kenyataannya, saat final tidak ada ketentuan lotre judul. Aku berharap kejadiannya akan seperti yang lalu. Atau paling tidak banyak kompetitor-kompetitor dan para official yang protes jika seperti itu.
Tapi, salah juga tindakanku ini, karena meremehkan dan tidak mau berhati-hati. Bagaimana lagi, aku tidak  boleh ngeforsir otakku. Apalagi bisa dikategorikan hafalanku cukup susah masuk otak. Cepet ilang, apalagi. Ya sudahlah, jalani saja apa yang ada. …
Kuputuskan jalan tawakkal kepada Allah, pasrah, karena tak mungkin waktu kurang seminggu ini kujadikan persiapan kompetisi Nasional itu, karena aku juga memiliki kompetisi lain di minggu ini.
MSQ, salah satu kemampuan berpidato dan menjelaskan isi kandungan al-Quran dikombinasikan dengan qiroah ayat al-Quran dan puitisasi terjemahan al-Quran. Cukup tak terlalu membebani pikiran, karena aku bertugas sebagai seseorang yang harus berpuitis dalam menyampaikan terjemahan al-Quran kepada audiens. Hanya butuh pemantapan. Memang sih, tidak seberat pensyarah atau bagian yang menjelaskan, tapi tetap saja konsentrasiku bercabang jika harus memikirkan kompetisi Nasional seminggu lagi.
Buat partner Nasionalku, makasih udah bantuin aku menggubah naskahku yang nggak relevan dengan topik, makasih udah bantuin nerjemahin kata-per kata yang tak kuketahui, makasih udah ngajarin pronounciation, makasih lagi buat pendampingnya yang selalu mendukung aku juga walau beda instansi, yang pasti kita satu hati membangun ukhuwah islami. Yang pasti aku bangga punya partner sepinter kamu.
Thanks GoD, yang selalu menunjukkanku jalan yang yusri/gampang.


Kamis, 13 Juni 2013


Wot ever today,
Mendung menjemput kemewahan siang. Matahari menyingsingkan ke barat menandakan waktu telah tiba. Beban mental ujian telah kujatuhkan ke bawah tanah walau besok masih ada ujian 1 mata pelajaran saja. Kalam, pelajaran yang diharapkan berpikir kritis mengenai perbedaan madzhab islam. Murid-murid diharapkan bisa mendebat segala kesesatan.
What ever, yang pasti, aku selalu teringat pesan kak Hanifansyah yang selalu terpampang di dinding sebelah ranjangku.
aku rajin, aku penulis, dan aku pemenang” slogan itu yang selalu menancap di benakku. Tak akan kusia-siakan slogan itu, karena ia, kak Hanif rela memeriksa dan mengoreksi apapun yang aku tulis, karena dia juga penulis, penerbit, editor, juru masak.
Keseokan harinya,
Jeng-jeng..kini aku sudah terbebas dari ujian sekolah. Saatnya ngeblog apapun yang ada di otak.
Setelah ini pamitan ke kepala sekolah buat keberangakatanku ke Surabaya dan Gorontalo.
Wah, asyik juga liburan kali ini. …
Semoga Allah memberikan keselematan dan kesuksesan, amiin… doanya ya ,.. semoga diberi kelancaran dan mendapatkan yang terbaik / juara 1.AMIIN

Kamis, 30 Mei 2013


Kembar Siamku
Oleh : Shovi Maryam – XI MAKBI
Scene 1
Di kegelapan malam, sepasang suami istri berlari menuju rumah sakit terdekat. Sang istri merasakan kesakitan yang luar biasa di perutnya. Sang istri akan melahirkan. Dokter cukup khawatir dengan kondisi istri yang begitu meronta kesakitan karena bayi yang berada di dalam kandungannya tidak sanggup keluar.
Suami              : Ayo sayang kamu pasti bisa (ia memegang erat tangan istrinya yang meronta
  kesakitan)
(sang istri pingsan)
Dokter             : Pak, istri anda harus dioperasi, karena bayinya tidak sanggup keluar
Suami              : Baik dokter, apapun demi keselamatan istri saya (sambil cemas)
            (saat bayi dikeluarkan dari perut ibunya, semua orang yang berada di sekitarnya begitu terkejut. Bayi itu terlihat sangat gagah namun memilki kepala dua. Kembar siam. Sang istri pun tak sanggup melihat bayi kembar siamnya. Ia mengeluh, mencaci, dan bersumpah akan membuangnya).
Istri                  : Tidak mungkin (menjerit histeris) dasar anak merugikan. Kau telah
menyusahkan dan hampir membunuhku, kembar siam sialan! Aku tidak sudi menjadi ibumu!
Suami              : Sudahlah, sayang. Terima saja!
Istri                  : Apakah kau sudi dengan anak memalukan itu? Apa kata orang-orang nanti?
  Seorang bos besar memiliki anak tak tahu diuntung.
Suami hanya terdiam. Berpikir seakan membenarkan perkataan istrinya.
Scene 2
            Sebelum anak kembar siam tersebut diberi nama, sepasang suami istri tersebut tega-teganya membuang anaknya di kolong jembatan tanpa sepengetahuan seorang pun.
Keesokan harinya, ia ditemukan oleh pengemis yang malam itu tidur tak jauh dari mereka.
Pengemis         : Astaghfirullahaladzim! Ini bayi sungguh kasihan. Betapa teganya
  orangtuanya membuang bayi malang ini! Baiklah aku akan kurawat dan
 kujaga anak malang ini. Aku beri nama anak ini dengan nama Wika dan Wiki.
(tak lama kemudian, peristiwa penemuan bayi itu diketahui oleh bos preman yang tiap harinya menariki uang hasil mengamen dan mengemis dari para pengemis dan pengamen-pengamen di sekitar kolong jembatan).
Bos preman     : Wuiiih… bayi siapa ni? Wah asset gede nih…
Pengemis         : Jangan, ini bayiku
Bos preman     : Kapan loe hamil? Ha? Sini?
Pengemis         : Jangan! Jangan!  (preman merebut paksa dari tangan pengemis tersebut)
Bos preman   : OK! Ini aset gede. Loe jangan macem-macem ama gue. Ni bayi loe jaga, loe
                        kasih makan yang banyak, dan jangan lupa, loe harus tetep buat ni bayi tetep gembel! Paham?! Inget. Loe nggak bakalan bisa bawa bayi ini kabur. Paham?!
(pengemis hanya menundukkan kepala. Sepertinya ia memang tak sanggup melarikan diri dan menyelamatkan bayi siam tersebut, karena kondisinya yang sudah sangat tua).
Scene 3
            Menginjak usia empat tahun, Wika dan Wiki sudah sanggup berjalan sendiri. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh bos preman tersebut untuk mencari keuntungan lebih. Tanpa pengemis yang senantiasa menjaganya, ia diperlakukan menjadi pengemis di tempat yang lebih strategis dan selalu diawasi oleh bos preman tersebut. Keuntungan yang didapat dari anak kembar siam tersebut juga sangat melebihi pengemis-pengemis lain. Namun, pada suatu hari…
Wika                : MMaaf, Bos. Kita cuma dapet dikit hari ini.
Bos preman     : (mendobrak meja dan bangun dari kursinya) Ngapain aja loe cacat? He?   
  Tidur?
Wiki                : SSSoorry, Bos. Kita tadi ketiduran. Kita kecepakan.
Bos preman     : Berani ya sekarang loe ma gue, he? (sambil mencambuk keduanya)
Wika Wiki       : Auuu..!
Bos preman     : (sambil menjundu kepala keduanya) Dengerin gue, kalo loe dapet duit
                          banyak, siapa yang untung? Ha?
Wika                : Dapet banyak ato dikit gaji kita sama aja, Bos.
Preman            : Hahaha….jujur banget ni anak. Ya udah, dari pad ague nyambuk kalian
                          nggak jelas  gini, mending sekarang kalian beliin gue vodka di toko biasanya.
Wiki                : Siap, Bos!
Bos preman     : Tumben loe semangat banget? Ato kalian mau kabur? Inget ! preman gue
banyak di sini. Jadi, jangan coba-coba sama gue. (sambil menunjuk dan   mengancam)
Scene 4
            (setelah itu mereka keluar mencari vodka. Mendengar tadi bosnya mengancam mereka, mereka berinisiatif kabur dari sarang pengemis dan preman).
Wika                : Wiki, kau tahu kita sekarang umur berapa?
Wiki                : Emm, empat belas tahun? Atau limabelas?
Wika                : Ya, loe, itu mah umur kita dua dua tahun yang lalu, gimana sih?
Wiki                : Swear loe? Berarti kita udah dewasa donk?
Wika                : Ya iyalah. Loe nyadar nggak si? Sebenernya kita punya gede dan punya otot kekar?
Wiki                : Mana, coba liat?
Wika                : Liat ni ! (sambil menunjukkan otot bisepnya kanannya)
Wiki                : Wah, gede juga. Coba punya gue (menunjukkan bisep kirinya). Lumayan si,
                          tapi lebih gede punya loe!
Wika                : Nah, berhubung kita cukup kuat ni, gimana kalo habis ini kita kabur?
Wiki                : Serius loe?
Wika                : Serius. Kita kan udah gede, keker lagi.
Wiki                : Terus. Loe tau sendiri, kita hanya satu badan, kita nggak punya empat
                           tangan. Di sini preman berkeliaran. Kalo sampek ketahuan, mati kita.
Wika                : Loe takut? Yah, payah lo. Penakut!
Wiki                : Ok! Siapa kalo gitu siapa takut?
Wika                : Nah, gitu donk! Baru soulmate gue!
            (akhirnya mereka bersepakat untuk kabur dari sarangnya. Mereka sengaja membeli vodka di toko yang lebih jauh dari yang biasanya bos suruh).
Preman            : Mau kemana loe?
Wika                : Ini, Bang, mau beliin bos vodka. Di toko Bang Jon kagak ada.
Preman            : Inget, loe nggak bakalan bisa kabur. Awas loe!
Wiki                : O..Oke, Bang!
            (setelah itu mereka berhasil kabur dengan cara menutupi berdandan seperti bapak-bapak pejabat dan menutupi kepala Wiki dengan kain hitam agar tidak ketahuan. Mereka berhasil kabur hingga sampai di sebuah yang jauh dengan sarangnya).
Wiki                : Wah! Anak cerdas, loe! Kenapa nggak dari dulu aja loe berani kayak gini.
Wika                : Entahlah, baru tadi malem dapat ilham.
Scene 5
(mereka berjalan menyusuri jalan dengan kepala Wiki yang tertutup, sehigga ia cukup sesak napas. Setelah berkilo-kilo mereka berjalan,mereka berhenti di sebuah warung bakso di pinggir jalan raya. Di sana ia bertemu dengan seorang bapak yang berpenampilan sangat sederhana, namun ternyata ia adalah seorang pembesar di kota Depok tersebut).
Pak Hamim     : Hei, boleh gabung?
Wiki                : Silahkan, pak!
Wika                : Sudah pesen, pak?
Pak Hamim     : Udah, dek. Ngomong-ngomong dari mana, nih?
Wiki                : Dari…
Wika                : Oh ya, kita dari Sumedang.
Pak Hamim     : Oh, kesini naik apa?
Wiki                : Naik kaki, pak!
Pak Hamim     : Wah, hebat kalian. Padahal itu jauh banget.
Wika                : Ya, pak. Tapi kita seneng banget
Pak Hamim     : Kenapa?
Wiki                : Soalnya, kita merdeka, Pak
Wika                : Sebenernya kita ini lagi ngegembel, pak.
Pak Hamim     : Maksudnya?
Wiki                : Sebenernya kita itu pengemis, Pak. Dari balita malahan
Pak Hamim     : Ha? Tapi sekarang udah sukses, kan? Atau sekarang kalian jadi pengusaha.   
                          Berjas dan berdasi tapi kok makannya di pinggir jalan?
Wika                : Hahaha… bapak bisa aja. Kita lagi kamuflase biar nggak ketangkep preman-
                          preman di sana, Pak.
Pak Hamim     : Aku mengerti sekarang. Ngomong-ngomong aku bisa bantu kalian.
Wiki                : Wah, serius pak? Kita butuh penyambung kehidupan, Pak.
Pak Hamim     : Tenang aja. Nanti kalian juga bisa belajar di sana. (menoleh ke penjual
                           bakso) berapa pak semuanya?
Penjual bakso  : Duapuluh ribu, Pak.
Scene 6
            (mereka diajak oleh Pak Hamim ke rumahnya. Mereka tercengang dengan suasana rumahnya begitu damai dengan riuhnya bacaan al-Quran. Ternyata Pak Hamim adalah pengasuh pondok pesantren terbaik di Depok).
Wika                : Bapak, saya merasa sangat aman di sini. Damai, dipenuhi bacaan al-Quran.
                          Subhanallah…!
Wiki                : Sejak kapan loe jadi sok alim gitu?
Pak Hamim     : Hehehe, nanti kalian bisa tidur di sini (sambil menunjukkan kamar kosong di
                          lingkup pesantrennya). Kalau tiap adzan dikumndangkan jangan lupa ke
                          masjid ya?
Wika dan wiki : Ya, Pak.
Pak Hamim     : Sekarang istirahat saja. Ini ada sedikit camilan. Jangan lupa dimakan! Oh, ya.
Ini seragam buat besok pagi setelah subuh. Santri-santri di sini berlatih      pencak silat tiap pagi.
Wika                : Makasih banyak, Pak. Makasih.
Wiki                : Waw, keeereeen… kita nggak ngimpi, kan?
            (Pak Hamim hanya tersenyum haru. Sudah banyak kaum seperti mereka yang beliau tolong dan didik. Keesokan paginya, mereka begitu bersemangat mengikuti latihan. Di sana mereka bertemu dengan salah seorang mantan pengemis yang ternyata adalah anak dari pengemis yang dahulu menyelamatkan Wika dan wiki di kolong jembatan)
Scene 7
Sukari              : Latian pertamamu, maksudku kalian. Latian kalian hari ini bener-bener
                          hebat!
Wiki                : terima kasih, terima kasih.
Wika                : Sepertinya aku mengenalmu
Sukari              : Ya, aku juga mengenalmu
Wiki                : Hey, kau kan anaknya Pak Suhud yang dulu mengasuh kita. Kemana saja kau
                          (sambil berpelukan)
Sukari              : Kebetulan nasibku sama kayak kalian. Ditolong Pak Hamim. Lagian bukan
                          hanya aku yang ditolong, di sini juga banyak banget yang dulunya senasib
                          kayak kita.
Wika                : Sumpah. Tu orang patut diberi surga.
Sukari              : Coba kalau di tempat kita ada orang kayak gitu. Pasti hidup semakin damai,
  tentram, makmur,
Wiki                : Coba dia jadi gubernur atau presiden saja
Wika                : Kalau dia jadi presiden, nanti gak ada yang ngurus pesantren ini. Sibuk terus
  sama politik akhirnya.
Sukari              : Kita doakan saja semoga Pak Hamim diberi panjang umur, biar semakin
                          banyak yang tertolong.
Wiki                : Ngomong-ngomong loe nggak pernah ketemu sama preman sumedang?
Sukari              :Terhitung empat kali sampai sekarang. Namun mereka selalu gagal
                          mencekalku
Wika                : Keren. Kok bisa?
Sukari              : Bentar lagi nasib kalian akan berubah menjadi lebih aman. Tenang aja!
            Setelah tiga tahun mereka mengabdi di pondok pesantren Pak Hamim, mereka diizinkan untuk keluar lingkungan pesantren untuk bekerja maupun mencari pekerjaan di mana saja. Karena mereka telah matang untuk membela diri.


Scene 8
(Wika dan Wiki berjalan di sekitar kantor perusahaan. Mereka dijumpai oleh bos preman yang sejak lama mengincarnya. Kebetulan saat itu bosnya membawa segerombol anak buahnya. Perkelahian dan atraksi bela diri pun menggemparkan sepanjang jalan).
Bos                  : Rupanya kau semakin bersih saja. Wajahmu, rambutmu, dan pakaianmu pun
Lebih mapan. Apa kau sukses? (sambil meletuskan permen karet di depan wajahnya)
Wika                : Tak perlu kau mengkhawatirkan kami!
Bos                  : (memberi isyarat untuk mencekal Wika dan Wiki) Kenapa kau tidak percaya
                          Bahwa aku selalu menyayangimu. Ha..? hahahaha (menempeleng wajah
                          keduanya)
Wiki                : Mati saja kau bajingan!
(Bos mau melemparkan pukulan namun berhasil ditangkas oleh keduanya. Perkelahian pun dimulai hingga akhirnya preman-preman tersebut tepar. Wika dan Wiki selamat)
            Walaupun dirasa cukup ahli pencak silat dan pernah berhasil mengalahkan segdrombolan preman. Wika dan Wiki terus belajar dan berlatih. Dengan keahliannya yang semakin bertambah, ia menjadi sering memenangkan turnamen-turnamen hingga terkenal di seluruh kota. Suatu hari, ia bertemu seorang gadis cantik di sebelah pesantren Pak Hamim.
Scene 9
Zahira              : Hei (berteriak memanggil Wika dan Wiki) antum tahu abah dimana?
Wiki                : Abah siapa, Neng?
Zahira              : Abah Hamim
Wika dan Wiki:Oh, Pak Hamim. Emang Neng apanya Pak Hamim?
Zahira              : Ana putrinya.
(Wiki hanya mlongo melihat kecantikan Zahira)
Wiki                : Saya Wiki, Neng. Murid kesayangan abah Neng.
Wika                : Heh, tidak sopan, dia putri kiai
Wiki                : Eh, maaf, Neng.
Zahira              : (tersenyum) ya, ndak papa. Oh ya, kalian belum menjawab pertanyaan ana.
  Dimana abah?
Wika                : Beliau pergi ke KBIH Al Huda, biasa, nglatih haji
Wiki                : Apa perlu dianter ke beliau, Neng?
Zahira              : Oh, tidak perlu, syukron. Lagian saya mau kuliah dulu. Ya sudah ana
  berangkat dulu.
Wiki                : Kami antarkan, Neng.
Wika                : (menjundu kepala Wiki) Loe ngimpi apa, kia belum punya kendaraan
Zahira              : (tersenyum) ya sudah makasih perhatiannya. Ana berangkat dulu.
                           Assalamualaikum.,
Wika Wiki       : Waalaikum salam!
            Tanda-tanda jatuh cinta di antara mereka mulai nampak. Mereka berdua baru merasakan yang namanya jatuh cinta. Sering sekali mereka membincangkan Zahira dan tak jarang pula mereka memperebutkannya.
Sesekali Wiki pernah menulis surat cinta tanpa sepengetahuan Wika. Ia menitipkan kepada temannya. Namun, hal tersebut diketahui Wika. Tak disangka, Wika mengalami puncak kemarahan. (Wiki menitipkan surat kepada temannya untuk Zahira saat Wika tertidur. Namun seketika itu Wika terbangun)
Scene 10
Wika                : Gitu sekarang. Berani-beraninya licik di belakang gue
Wiki                : Apa maksud loe?
Wika                : Berani-beraninya loe mau ngrebut Zahira dari tangan gue. Loe tu pengecut!
                          Diem-diem ngirim surat cinta. Atau jangan-jangan loe jelek-jelekin gue biar
                          dia benci ama gue? Udah deh loe ngaku aja!
Wiki                : Ya, gue ngirim surat cinta ke Zahira. Itu hak gue. Lagian loe nggak pantes
                          dapetin dia. Dia lebih suka gue yang lebih perhatian ke dia.
Wika                : Bullshit! Berani loe sekarang ama gue. Loe nggak tau gue pernah dikasih
                          Sesuatu sama Zahira. Sedangkan loe nggak pernah. Dan sekarang loe mau
                          ngrebut dia dari gue.
Wiki                : Kapan loe dikasih? Bullshit.
Wika                : Gue tunjukin surat dan arloji yang dikasihin ke gue.
(Wika mengambil lalu menunjukkan surat dan arloji dari Zahira) Benarlah apa yang dikatakan Wika, seketika itu Wiki memukul kepala Wika. Pertengkaran pun tak bisa dielak. Hingga akhirnya pertengkaran itu menghebohkan seluruh pesantren. Hal itu diketahui oleh Pak Hamim dan anaknya).
Pak Hamim     : Heh! Apa-apaan kalian? Kalian tak lebih dari seorang anak kecil. Ada apa?
                          Heh! Sudah-sudah!
Zahira              : Ada apa ini?
(Wika dan Wiki menghentikan pertengkarannya)
Wika                : Dia mencuri sesuatu dari saya, Pak!
Wiki                : Fitnah!
Wika                : Dia mencoba mencuri Zahira dari saya, Pak! Padahal Zahira jelas-jelas lebih
                          menyukai saya dari pada dia
(Seketika itu Zahira meneteskan air mata)
Zahira              : Sudah-sudah! Tidak ada di antara kalian yang kusukai apalagi kucintai
Heri                 : Lagian siapa yang sudi mencintai kalian? Apalagi anak kiai? Kalian aja yang ngimpi?
(Zahira berlari meninggalkan lokasi pertengkaran)
Pak Hamim     : Kalian berdua, ikut saya! (sambil berteriak marah)
Scene 11
(di lokasi mahkamah. Situasi begitu menegangkan. Apakah mereka akan bertahan di pesantren atau justru dikeluarkan. Zahira juga ada di lokasi).
Pak Hamim     : Saya tak tahu apa yang mestinya saya lakukan
Zahira              : Sudahlah, Bah. Tak usah pikir panjang!
Pak Hamim     : Apa maksudmu, Ndok?
Zahira              : Lakukan saja yang terbaik untuk mereka. (sambil tersenyum memberi isyarat
                          kepada Pak Hamim)
Pak Hamim     : Baik. Untuk kalian yang saling berebut. Dari pada kalian saling menewaskan.
  Aku akan menikahkan kalian dengan anakku.
Zahira              : Nikahkan saja sama anak abah yang paling cantik.
Wika                : Maksud, Abah? (Wiki hanya menundukkan kepala, bersedih, menerima
                          kenyataan bahwa cinta Zahira hanya untuk Wika)
Zahira              : Abah mau menikahkan kalian
Pak Hamim     : Dengan anakku yang cantik ini (sambil merangkul anaknya). Saya sangat
tidak khawatir dengan pernikahan ini. Semua ini serba keadilan Allah. Tidak    ada yang  tak mungkin di sisi-Nya
Wika                : Alhamdulillah…(Wiki hanya menundukkan kepala)
Akhirnya pernikahan pun dilaksanakan. Zahira sadar, manusia seperti Wika dan Wiki juga berhak untuk menikah. Namun, dalam waktu yang pendek. Wiki mengalami sesak nafas. Selama berumah tangga dengan Zahira ia hanya terbungkam, sakit hati tiada tara. Masih berpikir bahwa Zahira lebih mencintai Wika. Memang terlihat di setiap kelakuan Zahira yang tidak memperlakukan Wiki dengan adil. Hingga akhirnya, Wiki merasakan sakit dada yang begitu hebat.
Scene 12
Wiki                : Aaaah…aaaah (terjatuh)
Wika                : Kau kenapa? (Wiki pingsan) Zahira, Zahira…cepat bawa kita ke rumah sakit.
Zahira              : Masya Allah. Kenapa ini?
Wika                : Aku juga sedikit merasakan sakit di dada.
            (mobil pribadi Zahira melaju cepat ke rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit, mereka diperiksa, Wiki mengalami kanker paru-paru stadium empat. Zahira dan Wika menangis tersedu-sedu).
Scene 13
Zahira              : Hik…hik… ini semua salahku. Maafkan aku, Wiki. Sayang,
  kamu harus sembuh (Wika hanya menangis tersedu-sedu)
Wika                : Ini juga salahku yang terlalu egois. Hik... hik…
(suasana begitu menyedihkan. Sepanjang hari Wika hanya menangis di samping Wiki yang masih koma. Zahira pun juga menangis sepanjang hari. Wika tak mau makan, sehingga ia juga mengalami komplikasi. Paru-parunya pun ikut tergrogoti. Susah bernapas, dan akhirnya…
Wika                : Sayang, maafkan segala kesalahanku ya…
Zahira              : sstt.. tidak ada yang salah. Aku sangat cinta kamu, sayang!
(Keduanya meneteskan air mata) Wika, sekarat. Akhirnya detektif jantung pun berteriak. Tuuuuuuut.
Zahira              : Ahhhh….dokter…!!! hik…hik….
            Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Wika dan Wiki meninggal. Zahira sangat merasa kehilangan kedua jiwa yang ia sayangi. Ia sangat menyesali tindakan fatalnya ketika mengirim surat dan arloji kepada Wika yang membuat Wiki sakit hingga membuat keduanya meninggal.